Friday, November 29, 2013

Tidak Ada..

Tidak Ada..
Cerpen by Vandy Achmad Y.

               
              Lagi, lagi-lagi sunyi, senyap, tak bersuara, tak bernyawa. Kosong, iya... kosong hanya ada kehampaan tanpa warna, tanpa rasa, tanpa bentuk. Jika ada warnanya, bila berasa, mungkin aku tak akan seperti ini. Meski biru, meskipun pahit, itu lebih baik dari abu-abu dan jauh lebih baik dari hambar. Aku ingin... aku ingin mataku tuk dapat melihat warna, hidungku tuk dapat membau, telingaku tuk dapat mendengar, dan... dan hatiku tuk dapat merasa... merasakan sesuatu selain kehampaan.

              Arrrrgghh.... tak adakah... tak adakah warna yang ditujukan untukku, tak adakah suara yang diperdengarkan untukku, tak adakah sebuah rasa.. sebuah rasa yang dapat kurasakan. Sampai kapankah aku akan berdiri sendiri, sampai kapankah aku akan menatap pemandangan yang sama ini tanpa ada perubahan? Selalu sama. Tak berubah.

              Keluarga, sudah berapa lamakah aku tak merasakan kehangatan sebuah keluarga, masihkah aku ingat rasa itu, rasa memiliki sebuah keluarga, mungkin bahkan aku sudah lupa apa itu keluarga, seperti apa itu keluarga seharusnya. Jika saja... jika saja ikatan itu, ikatan pengikat hubungan keluarga itu masih kokoh, masih kuat mengikat keluargaku. Tapi.. tetapi ikatan itu tak dapat bertahan seiring berjalannya waktu, andai saja ikatannya tak serapuh itu, akankah hidupku masih berwarna, akankah hidupku masih berasa? Tetapi nasi sudah menjadi bubur, kayu telah menjadi arang. Ikatan itu telah putus dan hilang entah ke mana, tak dapat lagi kusambung ikatan itu hingga menjadi sebuah untaian yang kokoh.

              Jika aku dapat memutar waktu, aku akan kembali ke waktu itu, ke waktu sebelum aku menarik diriku dari dunia ini, waktu ketika aku dapat merasakan warna, rasa, dan kehangatan. Waktu di mana aku tidak sendiri, di mana ada keluarga di sisiku, ada teman di sampingku, tidak seperti saat ini, benar.. tidak seperti saat ini.

              Hari ini seperti biasa, kulangkahkan kakiku menuju ke sekolah, tempat di mana para remaja memperdalam ilmu ataupun sekedar bercanda gurau bersama teman, tapi di sini aku sendiri, di pojok sebuah ruang belajar yang dinamakan kelas, waktu berputar sendiri tanpa sedikitpun melirik ke arahku, dan semua bergerak tanpa mempedulikanku. Seakan aku memang tak ada di sini sejak awal. Apa... apa tidak ada seseorang ataupun sesuatu yang sadar akan keberadaanku? Apakah tidak ada sesuatu pun yang mau melihatku, atau aku yang harus memanggil mereka? Aku yang harus melihat mereka dan aku yang harus sadar tentang keberadaan mereka? Tapi mengapa mereka bahkan tak mau tuk hanya melirikku?

              Tidak di rumah maupun di sekolah, tak ada satupun yang ingin menoleh kepadaku, tak ada seorangpun yang mau melihat ke arahku. Aku tidak ada, benar, aku tidak pernah ada di pandangan mereka. Akankah ada sesuatu yang akan melihatku, atau setidaknya mengerti akan keberadaanku? Waktu berganti  waktu, hari berganti hari, minggu berganti minggu, tetap saja aku selalu sendiri, tidak akan berubah, benar, tidak akan berubah.

Hari ini seperti biasa lagi, kulangkahkan kakiku untuk menuju ke sekolah, ku lihat langit gelap yang ada di atasku mulai meneteskan air pertanda akan hujan. Kulangkahkan kakiku lebih cepat menuju ke sekolah. Pelajaran dimulai dengan seperti biasa, hujan yang turun membasahi kota ini, semakin membuat pagiku yang hampa menjadi lebih dingin. Ku tengokkan kepalaku ke jendela yang berada di sampingku, terlihat air hujan yang turun tanpa henti, tak berhenti bergerak, terus bergerak mengikuti gerakan air hujan, mereka tak seperti aku yang hanya duduk di sini sendiri tanpa tujuan, tanpa maksud.   

Ku lihat sesosok manusia sedang berdiri sendiri di tengah hujan yang turun dengan lebatnya, tanpa memikirkan dinginnya hujan yang turun. Tak peduli meski hujan terus turun, meski waktu terus berlalu, meski dunia terus berputar. Aku ingin ke sana, aku ingin melihat sosok itu dengan lebih dekat, entah mengapa aku ingin meraihnya, memegangnya, menyentuhnya. Tanpa terasa kakiku telah berjalan keluar dari kelas, dan berjalan menuju ke arah sosok itu.

Entah mengapa serasa tubuhku seolah tertarik oleh sesosok itu. Tertarik ingin menggapainya, memegangnya, menyentuhnya. Sesampainya aku di sana, masih kulihat sosok itu masih berdiri sendiri di sana, dia menoleh kepadaku, dan keluar suatu kata dari mulutnya..

“Apa kau bosan dengan kehidupan ini, apa kau menginginkan sesuatu yang baru, sesuatu yang tak pernah kau dapatkan?”

“Ap... apa maksudmu, kamu bicara apa?”

“Kau ingin atau tidak?”

Aku mau, aku sangat mau sesuatu yang baru, sesuatu yang tak pernah ku rasakan, aku ingin merasakan warna itu, rasa itu, dan kehangatan itu. Tetapi itu tidaklah mungkin, warna itu, rasa itu, semuanya hanyalah sebuah mimpi, aku tidak bisa merasakannya, setidaknya aku tidak bisa mendapatkannya untuk yang kedua kalinya setelah ku buang jauh-jauh semua itu.

“Itu bukanlah mimpi, semua itu bisa kau dapatkan”

              Terlihat sebuah senyum keluar dari wajah sosok itu, senyum yang tidak berasal dari seorang manusia, tetapi dari makhluk yang lebih tinggi dari manusia, tiba-tiba pandanganku semua terlihat buram, tubuhku kehilangan kekuatan, dan akhirnya aku terjatuh dan hilanglah kesadaranku.

Ketika terbangun, aku sadar ternyata aku berada di atas kasur di kamarku sendiri. Apa itu tadi? Apakah itu hanya mimpi? Aku bangun dan ku langkahkan kakiku ke bawah untuk mengambil sarapanku. Tetapi aku melihat sesuatu yang berbeda, sesuatu yang sudah lama tak kurasakan, kedua orang tuaku sedang duduk dan tersenyum kepadaku, lalu mengajakku untuk makan bersama. Apa ini mimpi? Ini bukan mimpi kan?

Lalu, hal yang sama ketika aku sampai di sekolah, semua sadar akan keberadaanku, semua menyapa kepadaku, sesuatu hal yang sangat ingin kurasakan. Benar kan, ini bukan sebuah mimpi? Ini nyata kan? Dan hal ini berlangsung di hari-hari berikutnya, semua warna itu, semua rasa itu, semua kehangatan itu, aku dapat merasakannya lagi. Hari berganti hari, minggu pun berganti minggu, dan hal ini terus berlangsung, sesuatu yang sangat ku impi-impikan.

Tetapi... tetapi mengapa aku merasa ada yang kurang, mengapa aku merasakan kekosongan, mengapa... mengapa... bukankah ini sesuatu yang ku impikan, tetapi mengapa? Hariku pun terus berlanjut dan perlahan-lahan rasa senangku berubah menjadi kebencian, perlahan-lahan senyum mereka, warna mereka, kehangatan mereka, terasa palsu bagiku, semuanya terlihat hanya sebagai kebohongan yang besar.

Aku ingin diriku yang dulu. Entah mengapa aku ingin kembali ke aku yang selalu sendiri, ke aku yang itu. Aku ingin bangun dari mimpi buruk ini, tapi apakah ini hanya sekedar mimpi, aku pun tak tahu. Tetapi aku ingin diriku yang dulu, diriku yang selalu sendiri, aku tak mau semua ini, warna ini, rasa ini, kehangatan ini, aku tak butuh semua ini. Aku hanya ingin menjadi diriku. Tiba-tiba pandanganku mulai kabur dan semua warna terlihat memudar, semua rasa mulai menghilang, hanya tersisa sebuah kegelapan yang dingin. Lalu terdengar sebuah suara..

“Bukankah ketika kau sendiri, itulah hidupmu, dan ketika kau tak melihat suatu warna, bukankah tanpa-warna itu merupakan suatu warna, dan tak berasa itu merupakan sebuah rasa, dan kehangatan muncul dari tidak ada sebuah kehangatan? Hargailah hidupmu sendiri, buatlah warna milikmu sendiri, buatlah sebuah rasa yang dapat kau rasakan, buatlah sendiri kehangatanmu.”

Tiba-tiba penglihatanku mulai kembali, aku sudah mulai sadar, dan ternyata aku sedang berbaring di halaman belakang sekolahku. Apa tadi itu mimpi.. Bukan, itu bukanlah mimpi, itu adalah sebuah kenyataan, benar, sebuah kenyataan. Kemudian ada seseorang yang datang di dekatku, siapa dia... Aku sama sekali tak tahu, tetapi yang aku tahu, dia bukanlah sosok yang kutemui waktu itu. Diulurkan tangannya ke arahku, terlihat sebuah senyum manis keluar dari wajahnya yang berseri-seri, tanpa kusadari ku ulurkan tanganku untuk meraih tangannya, tangan dari pemilik senyum termanis yang pernah aku lihat.


Sumber: Majalah Persada edisi ke-46, hal.39

No comments:

Post a Comment