Tidak Ada..
Cerpen by Vandy Achmad Y.
Lagi, lagi-lagi sunyi, senyap, tak
bersuara, tak bernyawa. Kosong, iya... kosong hanya ada kehampaan tanpa warna,
tanpa rasa, tanpa bentuk. Jika ada warnanya, bila berasa, mungkin aku tak akan
seperti ini. Meski biru, meskipun pahit, itu lebih baik dari abu-abu dan jauh
lebih baik dari hambar. Aku ingin... aku ingin mataku tuk dapat melihat warna,
hidungku tuk dapat membau, telingaku tuk dapat mendengar, dan... dan hatiku tuk
dapat merasa... merasakan sesuatu selain kehampaan.
Arrrrgghh.... tak adakah... tak
adakah warna yang ditujukan untukku, tak adakah suara yang diperdengarkan
untukku, tak adakah sebuah rasa.. sebuah rasa yang dapat kurasakan. Sampai
kapankah aku akan berdiri sendiri, sampai kapankah aku akan menatap pemandangan
yang sama ini tanpa ada perubahan? Selalu sama. Tak berubah.
Keluarga, sudah berapa lamakah aku
tak merasakan kehangatan sebuah keluarga, masihkah aku ingat rasa itu, rasa
memiliki sebuah keluarga, mungkin bahkan aku sudah lupa apa itu keluarga,
seperti apa itu keluarga seharusnya. Jika saja... jika saja ikatan itu, ikatan
pengikat hubungan keluarga itu masih kokoh, masih kuat mengikat keluargaku.
Tapi.. tetapi ikatan itu tak dapat bertahan seiring berjalannya waktu, andai
saja ikatannya tak serapuh itu, akankah hidupku masih berwarna, akankah hidupku
masih berasa? Tetapi nasi sudah menjadi bubur, kayu telah menjadi arang. Ikatan
itu telah putus dan hilang entah ke mana, tak dapat lagi kusambung ikatan itu
hingga menjadi sebuah untaian yang kokoh.
Jika aku dapat memutar waktu, aku
akan kembali ke waktu itu, ke waktu sebelum aku menarik diriku dari dunia ini,
waktu ketika aku dapat merasakan warna, rasa, dan kehangatan. Waktu di mana aku
tidak sendiri, di mana ada keluarga di sisiku, ada teman di sampingku, tidak
seperti saat ini, benar.. tidak seperti saat ini.
Hari ini seperti biasa,
kulangkahkan kakiku menuju ke sekolah, tempat di mana para remaja memperdalam
ilmu ataupun sekedar bercanda gurau bersama teman, tapi di sini aku sendiri, di
pojok sebuah ruang belajar yang dinamakan kelas, waktu berputar sendiri tanpa
sedikitpun melirik ke arahku, dan semua bergerak tanpa mempedulikanku. Seakan
aku memang tak ada di sini sejak awal. Apa... apa tidak ada seseorang ataupun
sesuatu yang sadar akan keberadaanku? Apakah tidak ada sesuatu pun yang mau
melihatku, atau aku yang harus memanggil mereka? Aku yang harus melihat mereka
dan aku yang harus sadar tentang keberadaan mereka? Tapi mengapa mereka bahkan
tak mau tuk hanya melirikku?
Tidak di rumah maupun di sekolah,
tak ada satupun yang ingin menoleh kepadaku, tak ada seorangpun yang mau
melihat ke arahku. Aku tidak ada, benar, aku tidak pernah ada di pandangan
mereka. Akankah ada sesuatu yang akan melihatku, atau setidaknya mengerti akan
keberadaanku? Waktu berganti waktu, hari
berganti hari, minggu berganti minggu, tetap saja aku selalu sendiri, tidak
akan berubah, benar, tidak akan berubah.
Hari ini seperti biasa lagi, kulangkahkan kakiku untuk menuju
ke sekolah, ku lihat langit gelap yang ada di atasku mulai meneteskan air
pertanda akan hujan. Kulangkahkan kakiku lebih cepat menuju ke sekolah.
Pelajaran dimulai dengan seperti biasa, hujan yang turun membasahi kota ini,
semakin membuat pagiku yang hampa menjadi lebih dingin. Ku tengokkan kepalaku
ke jendela yang berada di sampingku, terlihat air hujan yang turun tanpa henti,
tak berhenti bergerak, terus bergerak mengikuti gerakan air hujan, mereka tak
seperti aku yang hanya duduk di sini sendiri tanpa tujuan, tanpa maksud.
Ku lihat sesosok manusia sedang berdiri sendiri di tengah
hujan yang turun dengan lebatnya, tanpa memikirkan dinginnya hujan yang turun.
Tak peduli meski hujan terus turun, meski waktu terus berlalu, meski dunia
terus berputar. Aku ingin ke sana, aku ingin melihat sosok itu dengan lebih
dekat, entah mengapa aku ingin meraihnya, memegangnya, menyentuhnya. Tanpa
terasa kakiku telah berjalan keluar dari kelas, dan berjalan menuju ke arah
sosok itu.
Entah mengapa serasa tubuhku seolah tertarik oleh sesosok
itu. Tertarik ingin menggapainya, memegangnya, menyentuhnya. Sesampainya aku di
sana, masih kulihat sosok itu masih berdiri sendiri di sana, dia menoleh
kepadaku, dan keluar suatu kata dari mulutnya..
“Apa kau bosan dengan kehidupan ini, apa kau
menginginkan sesuatu yang baru, sesuatu yang tak pernah kau dapatkan?”
“Ap... apa maksudmu, kamu bicara apa?”
“Kau ingin atau tidak?”
Aku mau, aku sangat mau sesuatu yang baru, sesuatu yang tak
pernah ku rasakan, aku ingin merasakan warna itu, rasa itu, dan kehangatan itu.
Tetapi itu tidaklah mungkin, warna itu, rasa itu, semuanya hanyalah sebuah
mimpi, aku tidak bisa merasakannya, setidaknya aku tidak bisa mendapatkannya
untuk yang kedua kalinya setelah ku buang jauh-jauh semua itu.
“Itu bukanlah mimpi, semua itu bisa kau dapatkan”
Terlihat sebuah senyum keluar dari
wajah sosok itu, senyum yang tidak berasal dari seorang manusia, tetapi dari
makhluk yang lebih tinggi dari manusia, tiba-tiba pandanganku semua terlihat
buram, tubuhku kehilangan kekuatan, dan akhirnya aku terjatuh dan hilanglah
kesadaranku.
Ketika terbangun, aku sadar ternyata aku berada di atas kasur
di kamarku sendiri. Apa itu tadi? Apakah itu hanya mimpi? Aku bangun dan ku
langkahkan kakiku ke bawah untuk mengambil sarapanku. Tetapi aku melihat
sesuatu yang berbeda, sesuatu yang sudah lama tak kurasakan, kedua orang tuaku
sedang duduk dan tersenyum kepadaku, lalu mengajakku untuk makan bersama. Apa
ini mimpi? Ini bukan mimpi kan?
Lalu, hal yang sama ketika aku sampai di sekolah, semua sadar
akan keberadaanku, semua menyapa kepadaku, sesuatu hal yang sangat ingin
kurasakan. Benar kan, ini bukan sebuah mimpi? Ini nyata kan? Dan hal ini
berlangsung di hari-hari berikutnya, semua warna itu, semua rasa itu, semua
kehangatan itu, aku dapat merasakannya lagi. Hari berganti hari, minggu pun
berganti minggu, dan hal ini terus berlangsung, sesuatu yang sangat ku
impi-impikan.
Tetapi... tetapi mengapa aku merasa ada yang kurang, mengapa
aku merasakan kekosongan, mengapa... mengapa... bukankah ini sesuatu yang ku
impikan, tetapi mengapa? Hariku pun terus berlanjut dan perlahan-lahan rasa
senangku berubah menjadi kebencian, perlahan-lahan senyum mereka, warna mereka,
kehangatan mereka, terasa palsu bagiku, semuanya terlihat hanya sebagai kebohongan
yang besar.
Aku ingin diriku yang dulu. Entah mengapa aku ingin kembali
ke aku yang selalu sendiri, ke aku yang itu. Aku ingin bangun dari mimpi buruk
ini, tapi apakah ini hanya sekedar mimpi, aku pun tak tahu. Tetapi aku ingin
diriku yang dulu, diriku yang selalu sendiri, aku tak mau semua ini, warna ini,
rasa ini, kehangatan ini, aku tak butuh semua ini. Aku hanya ingin menjadi
diriku. Tiba-tiba pandanganku mulai kabur dan semua warna terlihat memudar,
semua rasa mulai menghilang, hanya tersisa sebuah kegelapan yang dingin. Lalu
terdengar sebuah suara..
“Bukankah ketika kau sendiri, itulah hidupmu, dan ketika kau
tak melihat suatu warna, bukankah tanpa-warna itu merupakan suatu warna, dan
tak berasa itu merupakan sebuah rasa, dan kehangatan muncul dari tidak ada
sebuah kehangatan? Hargailah hidupmu sendiri, buatlah warna milikmu sendiri,
buatlah sebuah rasa yang dapat kau rasakan, buatlah sendiri kehangatanmu.”
Tiba-tiba penglihatanku mulai kembali, aku sudah mulai sadar,
dan ternyata aku sedang berbaring di halaman belakang sekolahku. Apa tadi itu
mimpi.. Bukan, itu bukanlah mimpi, itu adalah sebuah kenyataan, benar, sebuah
kenyataan. Kemudian ada seseorang yang datang di dekatku, siapa dia... Aku sama
sekali tak tahu, tetapi yang aku tahu, dia bukanlah sosok yang kutemui waktu
itu. Diulurkan tangannya ke arahku, terlihat sebuah senyum manis keluar dari
wajahnya yang berseri-seri, tanpa kusadari ku ulurkan tanganku untuk meraih
tangannya, tangan dari pemilik senyum termanis yang pernah aku lihat.
Sumber: Majalah Persada edisi ke-46, hal.39
No comments:
Post a Comment